Kamis, 21 April 2011

Amalia Yunita, Bukan Wanita Biasa [cantik dan Berprestasi]

Yuni melepas zona kenyamanan, demi kualitas hidup yang lebih baik. Ia pun berharap, ketiga anaknya merasakan hal yang sama.

Usia Yuni hampir 42 tahun ketika kakinya menjejakkan gunung tertinggi di Afrika, Kilimanjaro. Mereka membawa ‘bendera’ : Kilimanjaro For Lupus. Inilah kedua kalinya ia mendaki gunung demi misi sosial, mensosialisasi dan berkampanye demi penyakit mematikan, Lupus.
Sebelumnya, tahun 2006, Yuni berhasil menaklukkan Kalla Pathar -5.545 m dpl- di Himalaya, Nepal, demi misi sosial yang sama. Saat itu ia melakukan ekspedisi ‘Perempuan Indonesia Menapak Himalaya Untuk Lupus’.
Yuni memang bukan ibu rumah tangga biasa. Sebelumnya saat masih kuliah di Universitas Trisakti, ia aktif berkegiatan adventure. Ia pernah menjadi Ketua Umum Aranyacala Trisakti (Organisasi Pecinta Alam Universitas, Sekolah Tinggi dan Akademi Trisakti). Kini, ia CEO Lintas Jeram Nusantara (Arus Liar) dan CEO Regulo Lintas Nusantara (Regulo).
“Kuliahnya apa, kerjanya apa,” ucap Yuni, tertawa lepas.
Gemes Saat Ke Luar
Yuni paling senang bicara kegiatan adventure-nya. Kata istri Lody Korua –juga pecinta alam-, karena seringnya ia pergi ke luar untuk kegiatan adventure, ia sempt khawatir di Droup Out dari kuliahnya.
Selama 7 tahun, hampir setiap tahun saya pergi ekspedisi. Memang sih, banyak kegiatannya daripada kuliahnya. Untung nggak sampai di DO,” ungkap Yuni, tersenyum.
Saat keliling-keliling itulah Yuni sering dibuat terkagum-kagum. Apalagi ketika ia ekpedisi ke luar negeri, salah satunya ke Amerika di tahun 1992. Dia melihat kegiatan arung jeram mulai menjadi bisnis komersial yang dikelola sangat baik dan profesional.
“Tahun 94, saya ke Afrika. Termasuk ke Zimbabwe. Nah, Zimbabwe kan negara berkembang seperti Indonesia. Tapi , wisata arung jeramnya sangat maju sehingga bisa menghidupi masyarakat yang tinggal di pinggiran Victoria Falls. Ada restoran yang dibuat oleh persatuan arung jeram dengan menu yang temanya arung jeram. Ada juga tempat jualan sovenirnya,” cerita wanita kelahiran Bandung, 15 Juni 1967.
Yuni gemas karena potensi alam Indonesia justru lebih bagus, tapi belum banyak yang memulai bisnis di bidang arung jeram.
Ditambah lagi, Yuni sering dibilang, “ngapain bisnis di bidang itu, kuliah capek-capek di teknik sipil, eh kerjanya nggak ada hubungannya.” Ada yang lagi yang bilang, “emang bisa hidup, kerja di bidang itu?”
“Omongan seperti itulah yang justru memotivasi saya. Ternyata, saya tidak hanya hidup dari situ, tapi bisnis ini bisa menghidupi masyarakat-masyarakat di situ. Kami benar-benar bisa merintis dari bawah,” kata Yuni, bangga.
‘Nangis Darah’
Awalnya, Yuni membantu bisnis adventure Lody Korua, Tropical, yang sudah mulai lebih dulu, sejak tahun 80an. Mendampingi tamu-tamu dari luar negeri belajar survival di gunung-gunung di Indonesia. Ia juga melakukan survey arung jeram.
Barulah tahun 1995, Arus Liar berdiri, di bawah bendera Lintas Jeram Nusantara. Yuni memilih sungai Citarik di daerah Sukabumi sebagai tempat berarung jeram. Paketnya masih sederhana, hanya arung jeram dan menginap.
“Kita rekrut orang-orang lokal. Karena, misi kita memberdayakan masyarakat lokal untuk pemandu dan sebagainya,” kata Yuni.
18 tahun berkegiatan, Arus Liar kini makin ‘lengkap’. Selain arung jeram sebagai main product, ada pula Nusa Traditional Cottages, Ed-Adventure Programme, camping ground, trekking trip, paint ball, hingga aooroad adventure trip.
“Sekarang kita bahkan sudah punya ‘anak’ di Jawa Timur, Regulo Adventure di sungai Pekalen di Probolinggo. Awalnya, perusahaan ini milik orang lokal. Sekarang sudah kita ambil alih. Pusatnya dan kantor di Surabaya, tapi kita yang pegang menejemennya,” jelas Yuni senang.
Membesarkan Arus Liar, kata Yuni, tidaklah mudah, bahkan ia sampai harus ‘nangis darah’.
“Karena kita memang komit dengan pemberdayaan dan mendidik masyarakat lokal. Ya ampun, pertama kali kita buka, benar-benar belum berkembang. Kita cari lulusan SMP saja sangat susah. Sekolah SMP baru dibangun 5 tahun yang lalu,” kenang Yuni.
Pertama kali melakukan kegiatan arung jeram, “orang-orang masih lari-lari menonton kita. Waktu saya bawa mentega, mereka bingung, ini benda apa? Bahkan listrik baru masuk tahun 1997. Jalan bagus baru 7 tahun lalu. Benar-benar masih jauh dari harapan,” ungkap Yuni.
Tekad Yuni membesarkan Arus Liar, bukan semata-mata untuk hobi. Ia mengaku gemas karena melihat banyak operator arung jeram di Bali, dimiliki warga asing.
“Masak sih kita yang punya sungai, tapi kita nggak bisa. Juga karena menjalankan bisnis ini bukan nggak mudah. Kalau tidak hobi kita tidak punya passion. Ambil beberapa contoh, dulu banyak operator baru arung jeram, tapi ketika krisis ekonomi, tutup. Justru kita beda. Kita merasa, kalau krisis ekonomi, banyak yang stres justru banyak yang arung jeram. Pada saat kita di bawah, tidak kita tinggalin. Itu dunia kita,” ujar Yuni, tersenyum.
Krisis, justru kalau terjadi musibah saat berkegiatan arung jeram. Yuni mencontohkan seperti kejadian Raymond Van Beekum di Sungai Cisadane. Dampaknya, bisa mematikan banyak operator.
Merambah Pulau Lain
Tahun ini, Yuni tengah berkonsentrasi pada pekerjaan barunya.
”Saya ingin ini tidak berhenti di Sukabumi dan Jawa TImur. Kita sudah mulai merambah ke tempat lain tapi masih berupa paket-paket. Seperti di Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi. Inginnya seluruh indonesia. Semuanya arung jeram. Selain perahu karet, di Kalimantan ada yang pakai ketinting. Seperti open kano yang panjang dan tradisional,” jelas Yuni.
Banyak Nggak Enaknya”
Setelah lama absen mendaki gunung, Yuni akhirnya
memutuskan melakukan ekspedisi.
“Tapi, sebenarnya naik gunung itu banyak tidak enaknya,” sesaat Yuni, tersenyum. “Yang enak cuma pemandangannya. Sisanya nggak enak semua. Ya capek, dingin, tidur tidak nyaman. Tetapi, disini ada suatu pembangunan mental. Dari situ pasti ada satu asalan tertentu yang kita dapat. Kita pasti diajak keluar dari comfort zone, dengan iklim yang ekstrim.”
Yuni menggambarkan saat ia mendaki Kilimanjaro kemarin. “Aku sampai ngerasa, ‘duh, nih gunung bukan untuk gue. Beratnya. Bukan waktunya lagi.’ Sepanjang jalan mikirnya begitu. Apalagi waktu ke summit. Udara tipis, dingin banget, capek. Muka sudah kebakar semua. Minuman di botol sudah jadi es. Pakai kaos kaki dua lapis pakai sepatu terbaik, tapi masih beku juga. Tapi dari situ, tanpa disengaja kita dibawa keluar dari zona kenyamanan kita. Kita merasa ada sesuatu yang kita dapat. Ketangguhan mental sepertinya diasah. Kita jadi mensyukuri pada hal sederhana yang kita punya. Disitu kita dibuat sengsara. Ternyata d rumah nikmat banget. Itu yang kita bayangin, begitu kita pulang, kita merasa lebih appreciate pada apa yang kita punya,” kata Yuni.
Kalau dulu saat masih usia 20 tahunan, diakui Yuni, jiwa ingin menaklukkan puncak gunung masih tinggi. Tapi setelah usia diatas 35 tahun, “yang penting kembali dengan selamat.” Yuni pun tertawa lepas.
“Sekarang, naik gunung, harus ada manfaatnya untuk orang lain. Ada anggapan, kok di Indonesia orang-orang berkegiatan adventure hanya waktu kuliah saja. setelah menikah, berhenti. Sedangkan kalau kita pergi ke luar, orang umur 60, masih saja jalan. Usia bukan faktor penghalang,” ujar Yuni.
Akhirnya timbul pemikiran-pemikiran lain. “Kenapa kita tidak sekalian punya satu misi yang bermanfaat untuk orang lain. Akhirnya kita gandeng-gandeng dengan Lupus.”
Tahun depan, tim ekpedisi wanita ini akan menaklukkan puncak Kayambe, salah satu puncak tertinggi di ekuador, selain 2 puncak lainnya, Kilimanjaro dan Cartenz Piramide.
“Orang pikir kita senang-senang, pergi terus. Siapa bilang?” alis Yuni terangkat. Di Kilimanjaro kemarin, GSM sampai di puncak. Jadi tiap hari ibu saya sms. ‘Ini jam 10 anak-anak belum pulang di bawa Lodi.’ Saya terus sms Lodi suruh bawa anak-anak pulang. Itu di ketinggian 4000 loh,” cerita Yuni sambil tertawa. “Belum lagi sms dari ibu, ‘Yun, besok mau ketemu kepala sekolah, apa yang harus diomongin ?’.”
Yuni memang sangat memperhatikan perkembangan tiga anaknya. Sejak kecil, ia dan Lody mengajak anak-anaknya mengenal alam.
“Saya baca, anak-anak yang lahir tahun 95, adalah generasi Z. Yang hidupnya sudah terlalu dikelilingi screen, mulai dari televisi, psp, gameboy, termasuk handphone. Ada plus minunya. Saya ingin mem-balance mereka. Karenanya, kalau weekend saya ajak ke citarik. Mereka bergaul dengan anak-anak kampung. Belajar juga supaya tahu bahwa kehidupannya tidak hanya teman-teman mereka di sekolah. Mainan-mainannya juga beda,” ujar Yuni.
“Mereka kita bawa ke alam, bukan karena ingin mereka seperti kita. Tapi mereka harus belajar juga hal-hal yang tidak nyaman. Bukankah anak-anak sekarang kemana-mana pakai AC. Di sana mereka harus mau tidur di tenda,” ungkap Yuni, senang.

Article and Photo by : Aien Hisyam
Recommended by : Alfonsa
KEEP STRONG AND GRACE

Tidak ada komentar:

Posting Komentar